Ahmadiah merupakan sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan pada tahun 1889 di Negara bagian Punjab, India tepatnya di Qadian. Didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi. Jemaat ini merupakan organisasi keagamaan international yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia.
Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di berbagai belahan dunia seperti Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, Eropa dan termasuk Indonesia.
Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia, sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al Quran dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa.
Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah “Ahmadiyya Muslim Jama’at” (Ahmadiyah Qadian) . Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).
Kelompok kedua ialah “Ahmadiyya Anjuman Isha’at-e-Islam Lahore” (Ahmadiyah Lahore). Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35.
Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Sejarah Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah Qadian
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni suatu pesantren di Sumatera Barat meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam.
Namun Guru mereka menyarankan agar pergi
ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran
Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore
dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama
Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat
sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah
mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai’at di tangan
Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
r.a. Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah
Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah.
Merasa puas dengan pengajaran disana,
Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar
di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari
Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang
terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat
Ahmadiyah. Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia
menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkunjung ke
Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud – juru bicara para
pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari
Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.. Ia meyakinkan bahwa meskipun beliau
sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil
beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT dikirim
sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus
1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II r.a
berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana
Rahmat Ali HAOT di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang,
Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa menggabungkan
diri dengan Ahmadiyah.
Pada tahun 1926, Disana, Jemaat
Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi. Tak beberapa lama,
Maulana Rahmat Ali HAOT berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia.
Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat, hingga dibentuklah Pengurus
Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua
pertamanya. Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak
sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan.
Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada
tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan
Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka
untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang
masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul
Wahid dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio,
menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara
itu, muballigh yang lain (alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah
satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik
Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau
untuk dedikasi beliau kepada negara.
Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah
Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu Organisasi keormasan di
Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri
Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak
pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun
1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa
kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak
korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya
mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang
tidak lain melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah
ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa
itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu
Pahlawan Ampera. Di Era 70-an, melalui Rabithah Alam al Islami semakin
menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah
mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai
non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap
Ahmadiyah.
Sebagai akibatnya, Banyak mesjid
Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain
itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an
menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan
dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika
Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak
pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia,
hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah
Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara
terbuka.
Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke
Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat
bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia,
Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais.
Ahmadiyah Lahore
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah
Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta.
Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi
Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam
Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai “Organisasi
Saudara Muhammadiyah”.
Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat
Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam
lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo
tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa “orang yang percaya akan
Nabi sesudah Muhammad adalah kafir”. Djojosoegito yang diberhentikan
dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari Gerakan
Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.
referensi : wikipedia
Comments