Pendengarannya
memang sudah tidak berfungsi sempurna. Ingatannya pun memudar. Dia
hanya menggelengkan kepala ketika ditanya usianya. Parino –dalam Kartu
Tanda Penduduk seumur hidup– lahir di Purworejo, 1 Februari 1917.
Sementara data Romusha Kecamatan Bayah, mencatat nama Amat Parino
kelahiran 1924 di tempat sama.
Ini hanya sedikit kisah peluangan saya ke Bayah, Kabupaten Lebak, Banten Selatan, Sabtu-Minggu (26-27 Juli 2008)….
Bayah
menjadi tempat berkumpulnya Romusha dan pegawai pertambangan sejak
Jepang mengeksploitasi tambang batu bara 1 April 1943. Pada awal
penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Timur,
termasuk Parino ini. Parino bekerja sebagai penggali lubang penambangan
di Gunung Madur, sekitar 10 kilometer dari Bayah.
Dengan
luas sekitar 15 ribu hektare, Bayah menjadi satu-satunya tempat yang
mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda bahkan
sudah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan sejak 1903,
tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum
1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan.
Namun angkutan pelayan Jepang banyak terpakai kepentingan perang.
Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara. Dan
Bayah-lah pilihannya.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Bayah Kozan Sumitomo. Bayah menjadi pusat administrasinya. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Kabupaten Pandeglang menuju Bayah –sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang dan Cihara.
Stasiun
Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan
Labuan. Jalur Jakarta-Labuan sudah ada sejak jaman Belanda, 1914.
Stasiun Saketi kini menjadi hunian anak kepala stasiun.
Saketi
berasal dari bahasa Sunda yang artinya 100 ribu. Konon, nama ini muncul
ketika ada kabar Jepang mau membuka jalur ke Bayah. Dulu Saketi masih
bernama Ciandur.
Nah,
dari kabar itu muncul desas-desus tentang ramalan mengerikan :
Ciandur-Bayah akan terhubung dengan besi dan kuda besi diatasnya dengan
memakan korban 100 ribu. Belum ada yang memverifikasi data itu . Tapi
nyatanya banyak Romusha mati saat jalur kereta 90 kilometer itu dibuat.
Kalau benar, artinya setiap 1 meter harus ditebus dengan 1 nyawa!
***
***
Kembali ke Bayah. Mbah Parino di sana mendapat upah F 0,40 (40 sen) sehari ditambah 250 gram beras. Uang 40 sen sehari waktu itu hanya cukup buat beli satu buah pisang. Itupun Jepang jarang membayar upah Romusha.
Setiap
pagi Mbah Parino berkumpul di depan asrama Romusha. Menyembah matahari.
Senam sambil nyanyi lagu Jepang. Si Mbah masih hafal lagu propaganda
itu, seperti Umiyukaba, Yaesiyono, Haitaisan no arigato hingga lagu
kebangsaan Jepang Kimigayo.
“Coba dong Mbah sambil peragakan senamnya…”
“Halah….gak kuat kalee…”
Si
Mbah juga masih lancar Bahasa Jawa. Pulo Manuk memang terkenal sebagai
Kampung Jawa. Si Mbah pake tiga bahasa dalam kesehariannya : Jawa, Sunda
dan Melayu.
Setelah
cukup dengan segala ritual ala Nippon itu, Parino diberi makan bubur
encer dan langsung menuju lubang penambangan. Kalau beruntung, sorenya
Parino dapat jatah makan lagi. Tapi seringnya Parino mengakhiri hari
dengan perut berbunyi.
Mbah
Parino termasuk orang yang memiliki kekebalan tubuh yang hebat. Ratusan
bahkan ribuan temannya mati karena kelaparan dan penyakit. Tempat si
Mbah ini memang terkenal sangar. Tentara Jepang saja takut pergi ke
Pulomanuk ini –sekitar 6 kilometer dari Bayah. Di sini menjadi sarang
Malaria, Disentri, Kudis, Borok dan penyakit lainnya.
Mayat
bergelimpangan. Dalam sehari Mbah Parino bisa menguburkan tiga mayat.
Itu baru di Pulo Manuk, belum di Bayah seluruhnya. Mbah Parino ini kenal
dengan Haji Emok Mukandar –penduduk asli yang mengurus mayat romusha di
seluruh Bayah.
***
***
Dalam memoar Tan Malaka, jumlah Romusha yang meninggal mencapai 400 orang dalam sebulan. Kuburan para Romusha setelah merdeka konon mencapai 38 hektare.
Maka
para penggede Bayah pada 1950-an membangun Tugu Romusha. Sampai
sekarang tugu itu masih menjadi tempat ziarah keluarga Romusha. Sebuah
tugu tanpa perawatan memadai.
***
Sumber Bacaan :1. Harry A. Poeze, Tan Malaka : Pergulatan Menuju Republik 1925-1945.
2. Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara II.
3. Tan Malaka, Rencana Ekonomi Berjuang.
4. Hendri F. Isnaeni, Romusa; Sejarah yang Terlupakan.
5. Internet.
7. Lain-lain.
***
Sumber Bacaan :1. Harry A. Poeze, Tan Malaka : Pergulatan Menuju Republik 1925-1945.
2. Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara II.
3. Tan Malaka, Rencana Ekonomi Berjuang.
4. Hendri F. Isnaeni, Romusa; Sejarah yang Terlupakan.
5. Internet.
7. Lain-lain.
sumber artikel : www.theglobal-review.com ( terbit 01-10-21010 )
Comments