Akar permasalahan partai berbasis Islam Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sejarah politik Indonesia.
Seteru partai Islam dan partai komunis di
Indonesia memanas pada awal 1954, setahun sebelum pemilihan umum digelar
pada 1955. Konflik keduanya ternyata tidak hanya melibatkan anggota
partai, tapi juga dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet
(saat ini Rusia).
Beriku hubungan partai Islam terbesar di Indonesia saat itu, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebelum tragedi 1965 terjadi, yang disarikan dari tulisan sejarawan Bonnie Triyana di Majalah Historia.
Bentrok di Lapangan
Pada medio Mei 1954, Partai Masyumi menggelar perhelatan besar di Malang, Jawa Timur, untuk menandingi rapat umum PKI di tempat yang sama.
Kedua partai masing-masing mengerahkan massanya ke alun-alun Malang. Bahkan massa Masyumi yang datang dari Surabaya dan Malang membaur bersama ribuan anggota PKI yang menunggu kehadiran Ketua PKI DN Aidit dan Eric Aarons, perwakilan Partai Komunis Australia yang juga didaulat berpidato.
Suasana di sana tegang, ditambah lagi terlihat selembar spanduk membentang yang tak jauh dari podium tempat Aidit berpidato. “Kutuk teror perampok Masjumi-BKOI," begitu bunyi tulisan di spantuk itu. BKOI adalah Badan Koordinasi Organisasi Islam.
Spanduk itu menanggapi demonstrasi Masyumi-BKOI di Jakarta pada 28 Februari 1954 yang berakhir rusuh dan menewaskan perwira TNI Kapten Supartha Widjaja.
Emosi kedua massa akhirnya tersulut setelah Aidit berpidato. Dalam pidatonya, Aidit mengatakan:
"Nabi Muhammad SAW bukanlah
milik Masjumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masjumi.
Memilih Masjumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka.
Masuk Masjumi itu haram sedangkan masuk PKI itu halal."
Iklan kampanye Pemilu 1955, saling serang antara Masyumi dengan PKI.
Sumber dari Mingguan Hikmah dan Harian Rakjat
Massa Masyumi kemudian bergerombol maju ke depan, mengerubungi podium tempat Aidit berdiri. Mereka menuntut Aidit mencabut kata-katanya.
Aidit pun menuruti. “Saya minta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama,” ucapnya.
Namun, terlambat. Pertemuan pun berakhir ricuh. Massa Masyumi merampas semua atribut kampanye PKI.
Menurut Remy Madinier, penulis buku Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral, insiden di Malang itu merupakan bentrok terbesar antara Masyumi dengan PKI sepanjang 1954. Padahal, pemilu pertama sejak kemerdekaan baru akan dilaksanakan setahun kemudian, tapi iklim politik sudah mendidih jauh sebelumnya.
Antek Amerika dan Soviet
Dalam sejarahnya, PKI menuduh Masyumi sebagai antek Amerika Serikat. Masyumi tak mau kalah. Mereka membalas dan menuding bahwa PKI adalah partai agen asing yang berkiblat ke Rusia.
Ketua Masyumi cabang Jawa Barat Isa Anshary turut membentuk Front Anti-Komunis, sebuah underbouw partai yang tak pernah diakui secara resmi keberadannya. Melalui Front Anti-Komunis, Isa menggalang massa untuk menandingi propaganda PKI.
Boyd R. Compton, peneliti Amerika Serikat, pernah menemui Isa pada Maret 1955. Dalam pertemuan itu, Isa meminta pendapat Boyd tentang sebuah organisasi anti-komunis yang berkantor di New York yang menawarinya bantuan.
“Ia mengungkapkan kesulitan-kesulitannya dalam mencari dana untuk menerbitkan sebuah majalah anti komunis,” kata Boyd tentang Isa dan Front Anti-Komunisnya.
Cerita inilah yang dijadikan dasar bagi PKI bahwa Masyumi berkiblat pada Amerika Serikat.
Sebaliknya, Perdana Menteri Indonesia saat itu (1947-1948) disebut sebagai pendukung PKI dan diduga berhubungan erat dengan Rusia.
Suhu politik pada 1948 juga memanas terlebih ketika Amir mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang disertai kedatangan tokoh PKI Musso dari Moskow ke Yogyakarta pada Agustus 1948.
Rangkaian peristiwa politik di pengujung 1948 itu bermuara pada peristiwa Madiun.
Perang Media
Bukan hanya simpatisan dan tokoh politik, media massa onderbouw kedua partai pun berseteru lewat judul-judul berita mereka. Masyumi dengan Majalah Hikmah dan koran Abadi, dan PKI dengan Harian Rakjat.
Majalah Hikmah punya rubrik “Lawan dan Kawan” yang setiap kali terbit selalu menyerang PKI. Dalam tajuknya pada 15 Januari 1955, Hikmah memberitakan keputusan sidang majelis syuro Partai Masyumi yang menyatakan bahwa penganut paham komunisme adalah sesat.
“Seseorang Muslim jang mengikuti komunisme atau organisasi komunis ... maka ia adalah sesat.”
Harian Rakjat tak mau kalah dalam melancarkan serangannya. Pada Maret 1954, koran itu menuduh Masyumi sebagai partai penebar teror yang tak demokratis.
Tak jarang pula mereka melontarkan kritik pedas langsung ke koran Abadi sebagai koran tukang “memutarbalikkan soal,” tulis redaksi Harian Rakjat pada 2 Maret 1954 .
Natsir dan Aidit Nongkrong di Warung
Meski demikian, konflik antar kedua partai ini lantas tak membuat pimpinannya tak akur. Buktinya, pendiri Partai Masyumi Mohammad Natsir dan tokoh PKI DN Aidit sering nongkrong bareng di warung.
Cerita itu dituturkan Natsir sendiri saat ditemui advokat senior Adnan Buyung Nasution untuk wawancara disertasinya di Universitas Utrecht, Belanda. Adnan mengisahkan persahabatan Natsir dan Aidit.
“Mereka bisa berdebat keras di dalam gedung parlemen tapi kalau sudah di luar, minum teh bareng di warung seperti tak ada apa-apa,” kata Adnan.
Konflik PKI versus Masyumi berakhir ketika Presiden Sukarno membubarkan Masyumi melalui Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960. Keterlibatan Masyumi dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menjadi alasan bagi pemerintah Sukarno untuk membubarkan partai itu.
Lima tahun kemudian terjadilan pembantaian massal yang diduga melibatkan anggota dan simpatisan PKI.
sumber : rappler.com dan historia.id
Comments