Meski berhasil ditumpas penjajah,
pemberontakan nasional 1926-1927 menuntut kemerdekaan Indonesia yang
dipimpin PKI sedikit banyak menggoncang sendi-sendi kekuasaan kolonial
Belanda. Gubernur Jenderal de Graaf seketika menambah reserse, polisi
dan tentaranya.
Semangat revolusioner tetap menyala. Kehendak merdeka menjalar ke kaum pelajar.
Algemene
Studieclub di Bandung, yang dipimpin anak muda bernama Soekarno
mendirikan Partai Nasional Indonesia. Di dalamnya ada pula seorang tokoh
kenamaan Tjipto Mangunkusumo.
PNI partai kedua setelah PKI yang menggunakan nama Indonesia. Ia lahir 1927, sesaat setelah PKI digulung kumpeni.
Tentang berdirinya PNI, dalam buku Sarinah, Soekarno menulis;
Imperialisme
Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabularasa di kalangan kaum
komunis. Kaum komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan
hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkan dalam penjara dan dalam
pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjuangan revolusioner,
saya mendirikan Partai Nasional Indonesia.
Di Tanah Buangan
Pukulan
pemerintah Hindia Belanda membuat PKI tak bisa tampil lagi secara
terbuka di gelanggang perjuangan dalam negeri. Kader-kader di luar
negeri membuat grup bernama Biro Luar Negeri PKI.
Pada 1932, biro yang berpusat di Belanda ini mengeluarkan program 18 pasal perjuangan.
Panjang
bila diuraikan satu persatu isi pasal tersebut. Paling tidak dua pasal
pertama sudah mencermikan keseluruhan isi. Berikut cuplikannya:
1.
Kemerdekaan Indonesia yang bulat. Indonesia selekas-lekasnya lepas dari
Nederland. Setuju dengan pemerintahan kaum buruh dan tani.
2.
Semua orang yang ditahan dan dibuang supaya segera dilepaskan. Tempat
pembuangan Digul supaya segera dihapuskan. Semua pembuangan, penahanan,
dan penangkapan, supaya segera dihentikan. Penjagaan polisi sekitar
Indonesia harus dihilangkan.
Biro Luar Negeri PKI juga menerbitkan surat kabar Warta, Bedak Purol, De Zanier, Tielman eb Dres Conserven dan majalah mingguan Inpressa, singkatan dari Indonesia Press Agency.
Sebagian pengurus Biro Luar Negeri PKI, tulis Busjarie Latif dalam Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965)
merupakan anggota Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi mahasiswa
Indonesia di negeri Belanda yang pernah dipimpin oleh Bung Hatta dan
Ahmad Soebardjo--dua di antara perumus naskah proklamasi 17 Agustus
1945.
Bawah Tanah
Memasuki
1935, situasi dunia bergolak ke arah perang dunia kedua. Tahun itu
Musso menyamar kembali ke tanah air. "Musso memilih Surabaya sebagai
tempat tinggalnya, karena di kota itu Musso telah mempunyai banyak
kenalan lamanya," tulis Busjarie.
Dengan menggunakan nama samaran Ganda, Musso memulai aksinya menulis di koran harian Indonesia Berdjuang
milik Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin Pamudji. Setelah
berkenalan baik dengan Musso, Pamudji memberinya tempat tinggal di Desa
Kedurus, bagian selatan kota Surabaya.
Musso
dan jaringan Pamudji mulai bergerak hati-hati menjaring kembali
kekuatan PKI di tanah air. Namun, apa hendak dikata, Pamudji
tertangkap.
Setahun di Surabaya,
Musso membentuk kembali Central Comite Partai Komunis Indonesia yang
terdiri dari Djokosudjono, Achmad Sumadi dan Ruskak. Pamudji yang sedang
mendekam di penjara tidak masuk dalam formasi bawah tanah ini.
Formasi
ini tak bertahan lama, Desember 1936, saat Musso berada di luar negeri,
tiga pimpinan CC PKI ditangkap Belanda. Selain ketiganya, banyak kader
PKI bawah tanah yang juga ditangkap dan ditahan di penjara Kalisosok,
Surabaya. Gerakan mereka rupanya tercium intelijen kolonial.
Selalu
saja ada pelanjut angkatan. 24 Februari 1937 berdiri Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo) yang didalam ada AK Gani, Moh. Yamin dan Amir
Sjarifuddin. Di dalam kelompok ini bergabung pula seorang anak
muda bernama DN Aidit. Di zaman pendudukan Jepang, kelompok ini keras
menentang fasisme.
Di sisi lain,
Pamudji yang baru saja bebas dari penjara Sukamiskin, Bandung kembali ke
Surabaya. Tanpa buang-buang waktu, dia langsung kumpulkan kader-kader
PKI bawah tanah yang tidak tertangkap dan 1938 kembali membentuk CC PKI,
"di rumah Azis di kampung Pacarkeling, Surabaya," ungkap Busjarie.
Tak hanya di zaman Belanda, di zaman Jepang (1942-1945), PKI kembali
menjadi musuh penguasa.
sumber : www.jpnn.com
Comments