Siapa tak kenal Kopassus, pasukan elit TNI Angkatan Darat yang pernah masuk 5 Rangking top dunia sebagai satuan pasukan elit terbaik. Kopassus menjadi salah satu dari banyak pasukan Khusus di tubuh TNI yang disegani di Asia, bahkan dunia. Sejarah mencatat, Kopassus banyak terlibat dalam operasi militer di berbagai daerah di Indonesia dan dunia.
Terbentuknya Kopassus tak lepas dari keinginan Panglima Teritorium
Kolonel Alex Evert Kawilarang yang menganggap perlunya pasukan kecil,
namun efektif untuk melakukan penyusupan. Pandangan ini terngiang di
benaknya saat melihat pasukan reguler tak mampu bergerak di medan-medan
yang sangat berat.
Berkat usahanya, Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi
(Kesko TT) terbentuk. Muhammad Idjon Djanbi pun diangkat menjadi
komandan sekaligus pelatih pertama.
Muhammad Idjon Djanbi
foto : twitter
Sejatinya, nama Idjon Djanbi adalah pendiri, pelatih pertama sekaligus
komandan pertama korps pasukan elite TNI AD yang kini bernama Kopassus.
Mantan anak buah Idjon Djanbi yang pernah dilatihnya mengenang sosok
Idjon sebagai perwira lapangan yang disiplin. Sosoknya langsing dan
gesit.
"Pak Idjon suka cek kalau kita jaga malam. Dia sergap dari belakang
dengan pisau. Kita berkelahi dulu, baru dia bilang stop, ini komandan
kamu. Tujuannya mungkin biar kita siaga," kata Boyoh, mantan anggota
angkatan pertama korps baret merah ini.
Idjon Djanbi awalnya bernama Rokus Bernandus Visser. Warga negara
Belanda ini bergabung dengan tentara Belanda yang mengungsi ke Inggris.
Dia pernah bergabung dalam operasi Market Garden yang dilakukan sekutu
untuk merebut Belanda tahun 1944. Setelah itu Visser ikut melakukan
operasi amphibi bersama pasukan sekutu.
Karena prestasinya, Visser naik pangkat jadi letnan. Pemerintah Belanda
mengirimnya ke Indonesia ketika Jepang kalah dan Belanda ingin berkuasa
kembali. Visser menjadi komandan sekolah terjun payung Belanda di
Indonesia dengan pangkat kapten.
Setelah perang usai, Visser yang sejak awal bersimpati pada Indonesia
memilih pensiun sebagai serdadu. Dia menikah dengan seorang wanita
Sunda, kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Mohammad Idjon
Djanbi.
Sekitar tahun 1952, Komandan Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Evert
Kawilarang bercita-cita mendirikan sebuah pasukan elite untuk menumpas
DI/TII. Saat itu pasukan reguler sulit bergerak lincah di hutan Jawa
Barat yang masih sangat lebat. Kawilarang pun memanggil Idjon Djanbi dan
memaparkan rencananya, sekaligus meminta Idjon menjadi pelatih. Idjon
menerima tawaran itu.
"Ternyata dia terima ajakan kami. Dan kemudian kami atur, sehingga dia
bisa mendapat pangkat mayor. Selang beberapa waktu, setelah dia bergaul
dengan anggota-anggota kita, dia kelihatan merasa betah," ujar
Kawilarang dalam biografi 'Untuk Sang Merah Putih' yang ditulis Ramadhan
KH.
Idjon Djanbi menyusun kurikulum berdasarkan pengalamannya selama menjadi
pasukan elite dan bertempur di Perang Dunia II. Latihan pasukan yang
diberi nama Kesatuan Komando TT III Siliwangi ini sangat berat. Dari 400
calon siswa komando, kurang dari setengah yang dinyatakan lulus.
Kepada mereka yang lulus, diberikan baret dan brevet komando. Ketika itu
baret warna hitam dicelup dalam air teh beberapa lama sehingga warnanya
luntur menjadi coklat kemerahan. Itulah cikal bakal Korps Baret Merah.
"Tahun 1953 kompi komando ini diikutsertakan dalam operasi-operasi
menghancurkan DI/TII di daerah Jawa Barat. Hasilnya sangat memuaskan,
terutama pada penyergapan konsentrasi gerombolan di Gunung Rakutak,"
kata Kawilarang. Idjon menjabat komandan tahun 1952-1956, setelah itu
dia pensiun dan digantikan wakilnya Mayor RE Djailani.
Sarwo Edhi Wibowo
foto : Alchetron.com
Pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah
merupakan putra dari keluarga PNS yang bekerja untuk Kolonial Belanda.
Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang
dan kemenangan mereka melawan Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik
dan Asia.
Ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk
mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA), yang
merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.
Namun, ia kecewa karena tugas pertamanya sebagian besar hanya memotong
rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira
Jepang.
Selama berlatih, Sarwo menggunakan senjata kayu. Setelah Proklamasi
dibacakan, Sarwo kemudian bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi
yang akan menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.
Kedekatannya dengan Ahmad Yani membuat mimpinya untuk menjadi tentara
kembali menggelora. Apalagi, Yani mengajaknya untuk bergabung dengan
batalionnya di Magelang, Jawa Tengah. Selama di TNI, karier Sarwo Edhie
sangat bersinar. Dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi
Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953),
Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala
Staf Resimen Pasukan Komando (1962-1964), dan Komandan RPKAD
(1964-1967).
Jabatan terakhir ini diembannya berkat bantuan Ahmad Yani. Ketika itu,
Yani yang telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan
seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD. Maka,
diangkatlah Sarwo Edhie sebagai komandannya.
Tugas pertama yang dilakukan Sarwo Edhie dan pasukannya adalah
mengangkat jenazah yang dibunuh PKI dalam peristiwa G30S. Kemudian, dia
bergerak untuk membasmi organisasi tersebut Jawa Tengah. Akibat tugas
itu, di hadapan DPR tahun 1989, Sarwo Edhie mengaku peristiwa tersebut
telah menewaskan 3 juta orang.
Prabowo Subianto
foto : pengenlihat.com
Lulus dari Akademi Militer Magelang pada 1974, Prabowo Subianto langsung
bergabung bersama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Dua tahun
setelahnya, Prabowo ditugaskan sebagai Komandan Pleton Grup I sebagai
bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur (sekarang Timor Leste)
saat usianya masih 26 tahun.
Meski menjabat sebagai komandan termuda, tugas berat dipegang Prabowo
selama menjalani pertempuran di Timor Timur. Dia dan pasukannya
diperintahkan untuk menangkap wakil ketua Fretilin sekaligus Perdana
Menteri pertama Timor Timur Nicolau dos Reis Lobato.
Berkat upaya dan pendekatannya terhadap keluarga Nicolau, Prabowo
berhasil mendeteksi keberadaannya di Maubisse, lima puluh kilometer di
selatan Dili. Nicolau tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di
lembah Mindelo pada 31 Desember 1978.
Pretasi gemilangnya tak terhenti sampai di sana, tugas berikutnya yang
diberikan pun berhasil diselesaikan dengan baik. Dia dan pasukan
berhasul menangkap Xanana Gusmao saat menyandang pangkat letnan kolonel.
Keberanaan Xanana diperoleh dari sadapan telepon Ramos Horta di
pengasingan.
Berkat prestasinya, Prabowo dipercaya sebagai Wakil Komandan Detasemen
81 Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus pada 1983. Setelah
menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning,
Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab sebagai Komandan Batalyon
Infanteri Lintas Udara.
Pada 1995, ia sudah mencapai jabatan Komandan Komando Pasukan Khusus,
dan hanya dalam setahun sudah menjadi Komandan Jenderal Komando Pasukan
Khusus. Prabowo pula yang mengirim Tim Nasional Indonesia untuk
mengibarkan Merah Purih di Puncak Gunung Everest pada 26 April 1997.
Ekspedisi dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dari Phakding, Nepal.Sukses
memimpin Kopassus, Prabowo diserahi tugas sebagai Pangkostrad yang
membawahi pasukan cadangan ABRI yang jumlahnya mencapai sekitar 11 ribu
prajurit. Saat itu, Prabowo dimintai pertolongan oleh Panglima Kodam
Jaya untuk mengamankan Jakarta. Permintaan ini dipenuhi Prabowo dengan
membantu mengamankan sejumlah bangunan penting, khususnya rumah dinas
Wakil Presiden BJ Habibie di Kuningan.
Jabatan Pangkostrad terpaksa dilepasnya karena diberhentikan oleh
Presiden Habibie pada 22 Mei 1998. Penghentian itu tak lepas dari
keputusan Prabowo yang menggerakkan pasukan Kostrad dari berbagai daerah
menuju Jakarta di luar komando resmi Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Posisi Prabowo kemudian digantikan oleh Johny Lumintang yang hanya
menjabat sebagai Pangkostrad selama 17 jam, dan kemudian digantikan oleh
Djamari Chaniago. Setelah pemecatan tersebut, Prabowo menemui Presiden
Habibie, dan sempat terlibat perdebatan yang sengit.
Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf
Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat. Selanjutnya,
Prabowo harus menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira karena Prabowo
disinyalir terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat sebagai
Danjen Kopassus. 15 Perwira tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan
ke Pangab Wiranato agar Prabowo dipecat. Hal itu dianggap sebagai akhir
karier militer Prabowo.
Sintong Panjaitan
foto : okezone
Pria asal Tarutung, Sumatera Utara ini
semula mencoba peruntungannya dengan memasuki dunia militer dan melamar
ke Akademi Angkatan Udara. Sembari menunggu kelulusannya, Sintong
Panjaitan juga mengikuti ujian masuk Akademi Militer Nasional dan lulus
dengan pangkat letnan dua.
Selanjutnya, Sintong mengikuti sekolah dasar cabang Infantri dan lulus
pada tanggal 27 Juni 1964. Setelah itu, dia ditempatkan sebagai perwira
pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD-kini Kopassus).
Operasi tempur pertamanya dijalani pada Agustus 1964-Februari 1965 untuk
menumpas pergerakan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan dan Tenggara. Selanjutnya, dia mengikuti pendidikan
dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando AD di Batujajar. Atribut
Komando diperolehnya di Pantai Permisan pada 1 Agustus 1965, dan kembali
ke Batujajar untuk pendidikan dasar Para dan mengalami 3 kali terjun.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Sintong kembali menerima perintah
untuk diterjunkan di Kuching, Serawak, Malaysia Timur sebagai bagian
dari Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara dalam rangka
Konfrontasi Malaysia. Pria kelahiran 4 September 1940 ini juga terlibat
dalam penumpasan G30S di bawah pimpinan Lettu Feisal Tanjung
Ketika itu, Sintong memimpin Peleton 1 untuk merebut kantor pusat Radio
Republik Indonesia (RRI), yang memungkinkan Kapuspen-AD, Brigjen TNI
Ibnu Subroto menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto. Sintong juga turut
serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin
anak buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Buaya.
Kemudian Sintong dilibatkan dalam tugas operasi pemulihan keamanan dan
ketertiban di Jawa Tengah, untuk memimpin Peleton 1 di bawah kompi
Tanjung beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak, Blora,
Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung
Merapi. Sintong Panjaitan adalah pemimpin Grup-1 Para Komando yang
terjun dalam operasi kontra-terorisme pembajakan pesawat Garuda DC-9
Woyla. Operasi ini dijalankan saat berpangkat letnan kolonel. Walaupun
terdapat dua korban jiwa, operasi itu dinilai sukses, sehingga ia
beserta tim-nya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu
tingkat.
Keterlibatannya dalam operasi militer di daerah Timor Timur membuat
Sintong diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana yang
mencakup Provinsi Timor Timur. Namun, Insiden Dili yang terjadi di
pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991 membuatnya dicopot. Peristiwa ini
disinyalir menjadi akhir dari karier militer Sintong.
Benny Moerdani
foto : wikipedia
Setelah proklamasi, Leonardus Benyamin Moerdani alias LB Moerdani
terjebak dalam gelombang nasionalisme. Ketika masih berusia 13, Benny
ambil bagian dalam serangan terhadap markas Kempetai di Solo karena
menolak untuk menyerah kepada pasukan Indonesia.
Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, Benny bergabung dengan
Tentara Pelajar yang berada di bawah otoritas dari Brigade ABRI. Dari
brigade ini, Benny mengambil bagian dalam Revolusi Nasional Indonesia
melawan Belanda, dia berpartisipasi dalam sebuah serangan umum yang
sukses di Solo.
Setelah pengakuan kedaulatan NKRI, pimpinan ABRI menanggap Brigade
Moerdani telah melakukan tugas cukup baik dan para prajuritnya terus
bertugas dengan ABRI. Dia dan pasukannya terdaftar dalam Pusat
Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada bulan
Januari 1951. Pada saat yang sama, Benny juga mengambil bagian dalam
Sekolah Pelatihan Infanteri (SPI).
Kemudian, tepatnya tahun 1954, Benny menerima pangkat letnan dua dan
ditempatkan di TT/III Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat.
Dua terlibat dalam upaya meredakan pemberontakan Darul Islam di bawah
Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (KESKO TT III).
Keberhasilan mereka menarik Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk
mendukung pembentukan Satuan Pasukan Khusus. Dengan demikian, pada
tahun 1954, Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) dibentuk. Benny
ditugaskan sebagai pelatih bagi para prajurit yang ingin bergabung
dengan KKAD dan diangkat sebagai Kepala Biro Pengajaran. Pada tahun
1956, KKAD mengalami perubahan nama menjadi Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD). Tidak lama setelah itu, Benny diangkat menjadi
Komandan Kompi.
Setelah itu, berbagai medan pertempuran dijalani Benny, mulai dari
melawan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera,
kelompok separatis yang berbasis di Sumatera dan Piagam Perjuangan
Semesta (Permesta) di Sulawesi. Dia pernah diterjunkan ke Papua menjelan
penentuan pendapat, hingga gerilya melawan serdadu Malaysia dan Inggris
di pedalaman Kalimantan.
Pada 1964, Jenderal Ahmad Yani memerintahkan Benny untuk berpindah dari
RPKAD ke Kostrad. Benny menyerahkan komando batalyon RPKAD nya pada
tanggal 6 Januari 1965. Setelah peristiwa G30S, karier militernya
meningkat, Soeharto memberikannya posisi yang membuatnya memiliki banyak
kekuasaan yakni Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan,
Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis
(Pusintelstrat), dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara
(Bakin).
Pada 1975, Benny menjadi terlibat dengan masalah dekolonisasi Timor
Timur. Bulan Agustus, Benny mengirimkan tentara Indonesia dengan kedok
relawan untuk mulai menyusup ke Timor Timur. Ketika Fretilin
memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur, operasi dihentikan dan
berganti menjadi operasi Seroja dimulai sebagai gantinya.
Meskipun operasi itu bukan sebuah operasi intelijen, Benny terus
terlibat, kali ini sebagai perencana invasi. Metodenya dalam
merencanakan invasi memicu kemarahan dari rekan-rekan karena dilakukan
tanpa sepengetahuan perwira komando tinggi, seperti Wakil Panglima ABRI
Surono Reksodimedjo dan Pangkostrad Leo Lopulisa yang seharusnya
terlibat dalam proses perencanaan.
Maret 1983, Benny ditunjuk sebagai Panglima TNI. Posisi itu membuatnya
secara de facto dalam aspek sosial dan politik di Republik Indonesia
saat itu, setelah Soeharto. Meski begitu, peristiwa Tanjung Priok pada
1984 membuatnya mendapat stigma negatif. Bersama Panglima Kodam V/Jaya,
Try Sutrisno, keduanya memerintahkan menggunakan kekerasan terhadap
demonstran hingga mengakibatkan kematian.
Benny membela diri bahwa para demonstran telah terprovokasi dan tidak
bisa dikendalikan secara damai dan sebagai hasilnya ia memerintahkan
tindakan keras. Untuk memperbaiki citranya, Benny bersikeras melakukan
kunjungan ke sekolah-sekolah Muslim di seluruh Jawa.
*sumber : Lensaterkini
Comments